My wife sent me this article, it's about the correct meaning of "MANDIRI" to our kids...it's in bahasa indonesia and i didn't translate to English, so i hope this could inspired you.
Saya ingin menawarkan sebuah tulisan tentang
pendidikan anak, yang terbuka untuk dikritik. Saat masih hidup bersama dengan orangtuaku
serta kedua adikku saat di Purwokerto, Yogyakarta dan Magelang. Kenangan
cara mendidik orang tuaku rupanya sangat mengesan bagiku. Pendidikan yang
mengesan itu ternyata ada kaitannya dengan perkembangan parapiskologi
seperti EQ ( kecerdasan emosional), SoQ (kecerdasan sosial) atau AQ
(kecerdasan "adversity") yang sedang populer sekarang ini.
Beberapa kecerdasan yang ditawarkan oleh Daniel Goleman, misalnya, rasanya
bukan hal yang luar biasa, melainkan kecerdasan itu memulihkan kembali
"pemahaman" yang benar dalam membangun relasi antar manusia. Pemahaman
kembali itu tidak lain sebuah proses membongkar beberapa mitos, yakni
keyakinan yang sudah tumpul karena tidak direfleksikan kembali. Salah satu
mitos yang ada dalam pendidikan anak adalah pemahaman tentang "kedewasaan
seorang anak". Anak yang dewasa adalah anak yang mandiri. Anak mandiri itu
mampu mengurusi dirinya sendiri tanpa bantuan orang tuanya"
Pemahaman "kemandirian" itu menggerakkan banyak bapak ibu mendidik anaknya
dengan tujuan "mandiri": bisa mengurus dirinya sendiri, tanpa merepotkan
ayah ibunya. Itulah yang terjadi, banyak orang tua suka membentak-bentak
anaknya karena mereka minta tolong diambilkan minum, minta ditemani belajar,
minta ditemani beli sepatu, dsb. Dengan alasan kemandirian itulah, banyak
orang tua juga akhirnya membuat acara tersendiri, saat anak anak belajar
atau tidur siang, mereka pergi atau menghibur dirinya sendiri dengan nonton
TV atau pergi jalan jalan tanpa mengajak anaknya. Kalau ditanya, "Pak, Bu,
kenapa anak anak tidak diajak pergi?" Jawabnya dengan entheng, "Lha, anak
anak kan harus belajar sendiri dan belajar mandiri, masak belajar saja
ditemani. Kami orang tua kan juga mesti punya waktu untuk menghibur diri
sendiri. Memangnya kita ini jadi Bapak Ibu harus terus menjaga anak? Nanti
kalau sudah nikah, kami juga akan ditinggalkan! Kuno, Mas, kalau orang tua
diminta untuk menemani anak belajar, menemani beli sepatu! Kalau bisa
kerjakan sendiri, kenapa mesti ditolong? Bukankah pendidikan model
"pertemanan" itu membuat anak jadi manja dan tergantung pada orang tua?"
Di balik jawaban orang tua tadi, ada sebuah pemahaman tentang "kemandirian"
yang sangat "pragmatis": bisa sendiri. "Kemandirian" dalam bahasa Latinnya
itu "otonom", dari kata auto & nomos= auto: sendiri, dan nomos: urusan rumah
tangga. Namun otonomi itu diakui adanya justru hanya dalam "RELASI". Semakin
banyak orang memiliki relasi, akan semakin jelas "otonominya" : jelas
bagaimana dia mengurus dirinya sendiri. Karena itu, "kemandirian" itu hanya
tumbuh dan berkembang makin matang dalam "BERELASI". Relasi yang
mengembangkan "otonomi" adalah relasi yang membebaskan orang untuk
"mengambil keputusannya sendiri". Itulah inti dari "memberdayakan orang
untuk mandiri: jadi dirinya sendiri". Persoalannya adalah "bagaimanakah kita
akan mampu memberdayakan orang lain jadi "mandiri" kalau tidak mau membangun
relasi?
Relasi orang tua dan anak yang memungkinkan tumbuhnya otonomi anak adalah
"relasi yang menawarkan pilihan". Sejak mereka sudah mulai bisa mandi
sendiri, makan sendiri, mereka bisa diberi pilihan, "Dhe, mau mandi sendrii,
atau dimandikan? Mau disuapin atau makan sendiri? Besok mau cari baju baru:
dibelikan saja, atau pilih sendiri tapi ditemani? Adhe ditemani belajar,
atau mau belajar sendiri?" Dengan berbagai pilihan itu, anak anak akan
belajar untuk memutuskan, sekaligus mereka belajar untuk terbuka menanggung
resikonya. Itulah latihan yang sangat sederhana, namun butuh ketekunan.
Masih ada banyak kesempatan untuk "menciptakan ruang" agar anak anak belajar
ambil keputusan sendiri. Semakin dilatiih untuk membuat keputusan, di
situlah anak akan belajar "menjadi dirinya sendiri", bukan menjadi "wayang"
atau "copy" dari ayah -ibunya. Kebiasaan "menawarkan" pilihan, akan membuat
anak merasa tidak terancam, melainkan merasa nyaman karena dipercaya untuk
memutuskan sendiri. Anak itu akan belajar, kalaupun gagalpun orang tua akan
ikut menanggung resikonya.
Cara berpikir macam ini, bukankah sebenarnya menjadikan "paham kasih"
menjadi konkret: kasih orang tua kepada anak, bukan soal memberi barang atau
fasilitas mewah, melainkan KASIH itu berarti "menjadi sahabat" yang membuat
anak "TIDAK KETAKUTAN", melainkan MERASA NYAMAN untuk tampil sebagai
pribadi. "Dalam ketakutan tidak ada kasih!" Dalam situasi yang tidak takut,
anak pun bisa bertanya, "Pak, Bu, boleh nggak saya minta ditemani kalau saya
belajar? Boleh nggak saya minta tolong untuk ditemani beli sepatu?" Itulah
anak yang mulai mandiri, berani beresiko, juga kalau ayah atau ibunya tidak
sanggup memenuhi permintaannya. Namun anak itu tidak lagi "memerintah"
melainkan "meminta tolong".Itulah anak mandiri, yang tetap butuh bantuan
orang lain, namun ia mengasihi orang tuanya, karena ia mampu menciptakan
"ruang" bagi orang tuanya juga untuk membuat pilihan tanpa terpaksa. Dengan
kebiasaan begitu, terbukalah harapan banyak anak makin tumbuh manusiawi.
Semoga dengan artikel ini kita belajar menciptakan "RUANG HIDUP" yang
membuat siapapun tidak takut berhadapan dengan kita, melainkan mereka
TERTANTANG untuk membuat pilihannya sendiri.
serta kedua adikku saat di Purwokerto, Yogyakarta dan Magelang. Kenangan
cara mendidik orang tuaku rupanya sangat mengesan bagiku. Pendidikan yang
mengesan itu ternyata ada kaitannya dengan perkembangan parapiskologi
seperti EQ ( kecerdasan emosional), SoQ (kecerdasan sosial) atau AQ
(kecerdasan "adversity") yang sedang populer sekarang ini.
Beberapa kecerdasan yang ditawarkan oleh Daniel Goleman, misalnya, rasanya
bukan hal yang luar biasa, melainkan kecerdasan itu memulihkan kembali
"pemahaman" yang benar dalam membangun relasi antar manusia. Pemahaman
kembali itu tidak lain sebuah proses membongkar beberapa mitos, yakni
keyakinan yang sudah tumpul karena tidak direfleksikan kembali. Salah satu
mitos yang ada dalam pendidikan anak adalah pemahaman tentang "kedewasaan
seorang anak". Anak yang dewasa adalah anak yang mandiri. Anak mandiri itu
mampu mengurusi dirinya sendiri tanpa bantuan orang tuanya"
Pemahaman "kemandirian" itu menggerakkan banyak bapak ibu mendidik anaknya
dengan tujuan "mandiri": bisa mengurus dirinya sendiri, tanpa merepotkan
ayah ibunya. Itulah yang terjadi, banyak orang tua suka membentak-bentak
anaknya karena mereka minta tolong diambilkan minum, minta ditemani belajar,
minta ditemani beli sepatu, dsb. Dengan alasan kemandirian itulah, banyak
orang tua juga akhirnya membuat acara tersendiri, saat anak anak belajar
atau tidur siang, mereka pergi atau menghibur dirinya sendiri dengan nonton
TV atau pergi jalan jalan tanpa mengajak anaknya. Kalau ditanya, "Pak, Bu,
kenapa anak anak tidak diajak pergi?" Jawabnya dengan entheng, "Lha, anak
anak kan harus belajar sendiri dan belajar mandiri, masak belajar saja
ditemani. Kami orang tua kan juga mesti punya waktu untuk menghibur diri
sendiri. Memangnya kita ini jadi Bapak Ibu harus terus menjaga anak? Nanti
kalau sudah nikah, kami juga akan ditinggalkan! Kuno, Mas, kalau orang tua
diminta untuk menemani anak belajar, menemani beli sepatu! Kalau bisa
kerjakan sendiri, kenapa mesti ditolong? Bukankah pendidikan model
"pertemanan" itu membuat anak jadi manja dan tergantung pada orang tua?"
Di balik jawaban orang tua tadi, ada sebuah pemahaman tentang "kemandirian"
yang sangat "pragmatis": bisa sendiri. "Kemandirian" dalam bahasa Latinnya
itu "otonom", dari kata auto & nomos= auto: sendiri, dan nomos: urusan rumah
tangga. Namun otonomi itu diakui adanya justru hanya dalam "RELASI". Semakin
banyak orang memiliki relasi, akan semakin jelas "otonominya" : jelas
bagaimana dia mengurus dirinya sendiri. Karena itu, "kemandirian" itu hanya
tumbuh dan berkembang makin matang dalam "BERELASI". Relasi yang
mengembangkan "otonomi" adalah relasi yang membebaskan orang untuk
"mengambil keputusannya sendiri". Itulah inti dari "memberdayakan orang
untuk mandiri: jadi dirinya sendiri". Persoalannya adalah "bagaimanakah kita
akan mampu memberdayakan orang lain jadi "mandiri" kalau tidak mau membangun
relasi?
Relasi orang tua dan anak yang memungkinkan tumbuhnya otonomi anak adalah
"relasi yang menawarkan pilihan". Sejak mereka sudah mulai bisa mandi
sendiri, makan sendiri, mereka bisa diberi pilihan, "Dhe, mau mandi sendrii,
atau dimandikan? Mau disuapin atau makan sendiri? Besok mau cari baju baru:
dibelikan saja, atau pilih sendiri tapi ditemani? Adhe ditemani belajar,
atau mau belajar sendiri?" Dengan berbagai pilihan itu, anak anak akan
belajar untuk memutuskan, sekaligus mereka belajar untuk terbuka menanggung
resikonya. Itulah latihan yang sangat sederhana, namun butuh ketekunan.
Masih ada banyak kesempatan untuk "menciptakan ruang" agar anak anak belajar
ambil keputusan sendiri. Semakin dilatiih untuk membuat keputusan, di
situlah anak akan belajar "menjadi dirinya sendiri", bukan menjadi "wayang"
atau "copy" dari ayah -ibunya. Kebiasaan "menawarkan" pilihan, akan membuat
anak merasa tidak terancam, melainkan merasa nyaman karena dipercaya untuk
memutuskan sendiri. Anak itu akan belajar, kalaupun gagalpun orang tua akan
ikut menanggung resikonya.
Cara berpikir macam ini, bukankah sebenarnya menjadikan "paham kasih"
menjadi konkret: kasih orang tua kepada anak, bukan soal memberi barang atau
fasilitas mewah, melainkan KASIH itu berarti "menjadi sahabat" yang membuat
anak "TIDAK KETAKUTAN", melainkan MERASA NYAMAN untuk tampil sebagai
pribadi. "Dalam ketakutan tidak ada kasih!" Dalam situasi yang tidak takut,
anak pun bisa bertanya, "Pak, Bu, boleh nggak saya minta ditemani kalau saya
belajar? Boleh nggak saya minta tolong untuk ditemani beli sepatu?" Itulah
anak yang mulai mandiri, berani beresiko, juga kalau ayah atau ibunya tidak
sanggup memenuhi permintaannya. Namun anak itu tidak lagi "memerintah"
melainkan "meminta tolong".Itulah anak mandiri, yang tetap butuh bantuan
orang lain, namun ia mengasihi orang tuanya, karena ia mampu menciptakan
"ruang" bagi orang tuanya juga untuk membuat pilihan tanpa terpaksa. Dengan
kebiasaan begitu, terbukalah harapan banyak anak makin tumbuh manusiawi.
Semoga dengan artikel ini kita belajar menciptakan "RUANG HIDUP" yang
membuat siapapun tidak takut berhadapan dengan kita, melainkan mereka
TERTANTANG untuk membuat pilihannya sendiri.